Mengatasi keraguan luar negeri 1998-06-07 Mengatasi keraguan luar negeri
{Pengunduran diri mantan Presiden Soeharto tidak secara langsung disusul oleh pembukaan
kembali “keran” pendanaan dari IMF. Salah satu sumber opisisi terhadap dukungan
kembali kepada Indonesia adalah Parlemen Amerika Serikat. Dampak dari perpanjangan
“musim kemarau” dukungan keuangan dinilai cukup berat}
Ada kesan di Indonesia bahwa DPR/Senat Amerika Serikat belum yakin akan manfaat
mendukung dimulainya kembali bantuan keuangan internasional kepada Indonesia.
Anggota DPR/Senat dari beberapa aliran pikiran termasuk kelompok kesejahteraan
sosial/HAM dan pemela gerakan demokrasi dari belahan kiri serta pendukung kuat
pasaran ekonomi bebas dari belahan kanan meluncurkan kritik yang tajam terhadap
pendekatan Dana Moneter Internasional (DMI) di Indonesia dan negara Asia lainnya
selama 10 bulan terakhir ini. Khususnya mengenai Indonesia kedua kelompok ini
serta kaum konservatif Kristen dari belahan kanan menaruh perhatian mengenai
perkembangan prasarana dan pranata sosial di Indonesia. Hal yang menarik perhatian
mereka antara lain termasuk:
• Prilaku tata usaha ekonomi dalam negeri yang terlalu diwarnai oleh struktur pasar
yang bersifat monopoli, oligiopoli, monopsoni, oligopsoni serta tingkat korupsi,
kolusi dan nepotisme yang tidak sehat;
• Ancaman terhadap rukun keagamaan nasional yang dianggap nampak dari kurang
perhatiannya pihak wajib terhadap prilaku diskriminasi sosial dari pihak agama
majoritas terhadap pihak minoritas (terutama oleh pihak Islam terhadap pihak
Kristen/Katolik);
• Pranata negara yang dianggap tidak cukup diwarnai kedaulatan rakyat,
sebagaimana dicerminkan oleh lemahnya daya kuat legislatif, kurang merdekanya
lembaga hukum, kurang bebasnya lembaga non-pemerintah misalnya lembaga
serikat pekerja, pers, serta pembatasan hak sipil terhadap tokoh-tokoh yang tidak
sependapat dengan Kepala Pemerintah.
Inti perlawanan ketiga kelompok DPR/Senat Amerika Serikat ini terhadap
penyampaian bantuan keuangan kepada Indonesia adalah bahwa bantuan ini bisa
disalahgunakan oleh kelompok yang berkuasa di Indonesia serta memperkuat posisi
mereka dalam kerangka politik negara. Pikiran politikus AS ini adalah pengeringan
kesempatan main uang dalam negeri akan menjadikan kepemimpinan sistem politik
lama hancur. Pendeknya dukungan keuangan kepada pemerintahan Soeharto,
menurut mereka, akan menghambat berjalannya pembaharuan luas dalam negeri
Indonesia.
Mundurnya Soeharto sebagai Presiden dan digantinya oleh Prof Habibie dianggap
oleh kalangan tertentu di AS sebagai perubahan tanpa pembaharuan, yang bisa
menjadikan Orde Baru bertahan lebih lama. Anggapan ini sebenarnya berdasarkan
asumsi yang secara fundamental salah. Presiden Habibie tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan nasib kebijakan negara seperti pendahulunya. Gelombong sejarah
serta tuntutan masyarakat sedang berkiblat kepada pembaharuan, dan Presiden
Habibie, kalau berani melawan gelombong ini, dengan tegas akan memendekkan
kepresidenannya karena kekurangan keabsahan kepemimpinnya secara politik
dikarenakan keabsahan politik saat ini justru diukur oleh dekatnya calon pemimpin
kepada gelombong pembaharuan tersebut.
Misalnya walaupun Presiden Habibie selama 20 tahun terakhir ini terkenal sebagai
orang Indonesian yang paling berani melawan arus rasionalisasi ekonomi, namun saat
ini penjelmaan visi ekonominya mustakhil karena negara tidak mempunyai dana
cukup untuk membiayainya. Kelihatan anggota parlemen AS belum bisa diyakini
akan keadaan baru ini. Demikian juga anggapan bahwa Presiden Habibie mampu
memblok pembaharuan politik tidak mempetimbankan, secara realistis, bahwa
rindunya akan deregulasi politik yang lama dipendamkan oleh masyarakat karena
kekuatan kepala negara/pemerintah dulu, akhirnya bisa dipenuhi. Kelompok dan
instansi masyarakat ini termasuk gerakan mahasiswa, lembaga legisaltif, lembaga
hukum, dunia pers dan pegawai negeri.
Zaman pemusatan kekuatan negara yang juga bersifat kekuatan jaringan pribadi yang
dikembangkan selama 30 tahun oleh mantan Presiden Soeharto hanya bisa dihidupkan
kembali dalam satu skenario. Yaitu kalau ekonomi tetus menciut sedemikian jauh
sehingga kesatuan sosial dirobek di bawah tekanan inflasi (yang disebabkan oleh mata
uang yang terus depresiasi tajam) dan penangguran (yang disebabkan oleh suku bunga
yang sangat tinggi serta keadaan likuiditas ysng sangat ketat. Dampak dari keadaan
ini akan meruntuhkan sistem kesejahteraan sosial, yang berdasarkan dukungan
jaringan keluarga dan persahatan pribadi, karena terlalu banyak orang dalam jaringan
harus didukung oleh terlalu sedikit orang yang masih mempunyai pendapatan. Dalam
keadaan darurat begini, tidak mustakhil muncul kerusuhan sosial yang lebih besar dari
pada bulan Mei. Balasan dari keadaan anarkis adalah sistem pemerintahan yang
bersifat keras dan tertutup terhadap pendapat luas. Pemerintahaan ini bisa dikepalai
oleh seorang berlatar-belakang militer ataupun agama.
Satu hal yang mutlak harus dilaksanakan untuk mencegah malepetaka tersebut adalah
mulainya kembali pencairan dana bantuan kepada Indonesia. Bukannya dana dari
DMI sendiri bisa menyelematkan Indonesia melainkan dukungan dari DMI akan
memberikan petanda kepada pemain-pemain yang lain termasuk lembaga keuangan
internasional yang lain, donor bilateral serta penaman modal berjangka panjang dari
pihak swasta bahwa mereka juga bisa mulai kembali melakukan kegiatannya di
Indonesia.
{The footnotes in this document were added on 27 December 2008, as I reviewed the
original document – all with the comforting distance of 10 years of hind-sight!
The comments are intended to provide both a little historic context that may now have
been forgotten with time and also to provide some auto-criticism of where I believe
my analysis was flawed or perhaps biased. From the original document I have also
corrected typing mistakes and grammatical errors without changing the integrity and
substance of what was initially written. The footnotes therefore do not represent part
of the original document.}